Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Frans Kaisiepo
Mengenal Bintang Kejora, Bendera Ciptaan Penjajah Belanda untuk Memecah Belah Indonesia
- Bila di sebut sebagai simbol kultural Papua berati Budaya Papua baru di mulai tahun 1961, ini sangat mengecilkan arti Budaya Papua dan pelecehan terhadap Budaya Papua itu sendiri.
- Seni Budaya Papua yang diekspresikan dalam seni lukis dan seni ukir dalam literatur Papua bagi semua suku di seluruh pulau Papua tidak mengenal warna merah dan biru. Masyarakat Budaya Papua hanya mengenal warna putih, hitam dan coklat. Baik dalam ornamen ukiran dan patung, lukisan di atas kanvas kulit kayu maupun coret-coretan ditubuh saat tradisi, upacara maupun saat perang.
- Simbol religius Papua bagi seluruh suku Papua tidak mengenal lambang Bintang sebagai simbol Ketuhanan. Dan simbol Bintang tidak pernah digunakan dalam literatur Papua di media apapun, baik ukiran, lukisan maupun coretan tubuh. Tapi simbol religius papua banyak menggunakan pohon, binatang dan manusia itu sendiri.
- Kultural Papua baik dalam upacara adat, keagamaan maupun dalam peperangan tidak mengenal adanya Bendera. Bahkan sebelum tahun 1961 sedikit sekali orang Papua mengenal kain apalagi mengenal Bendera. Bahkan hingga sekarang masyarakat Papua belum bisa menenun atau membuat selembar kain pun.
- Faktanya bahwa bendera Bintang Kejora "bukan" di rancang oleh orang Papua.
MEMPERINGATI HARI KARTINI TANGGAL 21 APRIL 2021 oleh : Heri Eriyadi Safitri, S.Kom, MG, C.STMI (Founder KCPI)
Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat,menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkanbuku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan KoninklijkInstitut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).
Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia,sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.
Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia ? Bukankah katanya, kita berbahasa satu:Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti,misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.
Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht,yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan).Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), RohanaKudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebihjauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio(padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran pikiran Rohana dalam berbagai suratkabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkanKartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,Pecut Baren, cut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan
Jadi,ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini?Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya.Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukanyang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati.Putri Indonesia..., mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka.Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
Kenapa orang indonesia menyebut Netherland adalah Belanda?
ROMUSHA ZAMAN JEPANG
Yang Sakit itu Soedirman…PANGLIMA BESAR Tidak Pernah Sakit….!
JENDERAL KOHLER Tertembak di depan Masjid Raya Baiturrahman BANDA ACEH
- Menyebutkan Imum Lueng Bata meninggal dalam pengejaran tentara Belanda, tetapi tak jelas lokasinya.
- Ada yang mengatakan Beliau Meninggal di Geulumpang Minyeuk, Pidie.
BENTENG PENDAM CILACAP
PASUKAN SANTRI PEJUANG
kenapa sih tentara harus pakai loreng?
Dengan baju loreng, militer dapat melakukan kamuflase sebagai salah satu teknik survival, yang mengacu pada metode untuk membuat pasukan militer tidak dapat terdeteksi pasukan musuh. Penerapan warna dan bahan kostum perang dan peralatan militer digunakan untuk menyembunyikan mereka dari pengamatan visual.
Karena menyaru dengan suasana di sekitarnya, pasukan yang menggunakan seragam ini sekilas tidak akan terlihat, serta mengurangi kemungkinan menjadi sasaran tembak.
Menilik kembali ke era kuno, saat itu pasukan militer tidak menggunakan baju loreng. Mereka lebih memilih warna yang mencolok dan berani buat menakut-nakuti musuh, termasuk mengidentifikasi kawan dan lawan saat kabut datang. Baju loreng pertama digunakan awal 1800-an oleh beberapa unit militer untuk melindungi diri dari tembakan senjata.
Unit pasukan yang mengadopsi perta kali warna loreng adalah Resimen Senapan ke-95 dan Resimen Senapan ke-60. Pakaian itu dipakai saat Perang Napoleon untuk memperkuat garis pertempuran tentara Inggris. Saat membawa Rifles Baker (senjata dengan bayonet) dan memperluas area pertempuran, pasukan ini mengenakan jaket hijau, berbeda dengan resimen lain yang mengenakan jubah merah tua.
Namun hal ini sempat terlupakan pada perang dunia kedua. Pasukan Inggris malah menggunakan pakaian yang cukup mencolok, sebaliknya tentara Nazi Jerman sudah mengaplikasikan sebagian besar pasukannya mengenakan seragam loreng. Ternyata cara ini cukup ampuh mengurangi korban selama pertempuran.
Berbeda dengan banyak pasukan asing yang kebanyakan memakai warna cokelat di putih, TNI memilih warna hijau. Alasan utamanya adalah medan, negara kita dominan pepohonan berwarna hijau, tanah dan kayu yang berwarna coklat, sehingga TNI lebih memilih pola M81 Woodland, yang populer dari tahun 1981.
Kamuflase ini lebih ke arah pertahanan diri dari penglihatan visual, meski ada teknologi baru untuk mendeteksi keberadaan manusia mengunakan sinar inframerah dan lain sebagainya, namun juga sudah di temukan metode dan kamuflase yang berbeda pula.